FAQ  /  Tautan  /  Peta Situs
    18 10-2016

    2821

    Seribu Hari Penentu Masa Depan

    Kategori Kerja Nyata | mth

    Kisah nyata ini dialami oleh seorang ibu di Desa Sukatani, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, pada bulan Maret 2016 lalu. Wanita yang kesehariannya mengais nafkah sebagai pemulung ini harus merelakan bayinya yang berusia lima bulan meninggal dunia. Balita yang diberi nama Ani ini sebelumnya mengalami gizi buruk dan pertumbuhan yang tidak normal. Kemiskinan menjadi faktor penyebabnya.

    Cerita menyedihkan ini hanya puncak gunung es yang tampak dari masalah gizi di Indonesia. Bagian gunung es yang tidak tampak tentu lebih besar, namun tak banyak yang peduli. Maklum, masalah gizi memang sering terabaikan dan tertutup oleh masalah lain yang dinilai lebih mendesak. Padahal asupan gizi yang buruk di masa balita akan sangat berpengaruh terhadap kecerdasan anak bangsa di masa datang.

    Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan RI tahun 2013 menyebutkan, 10,2% bayi di Indonesia lahir dengan berat badan rendah kurang dari 200 gram. Sebanyak 19,6% balita lainnya memiliki berat badan yang tidak sesuai dengan usianya (gizi buruk). Sementara 37,2% balita memiliki tinggi badan yang tidak sesuai dengan usianya (stunting/pendek). Jika setiap tahun lahir sekitar lima juta bayi di Indonesia, bisa dibayangkan betapa banyak balita yang mengalami permasalahan gizi di Indonesia.

    Tumbuh kembang anak di 1.000 hari pertama kehidupan masih menjadi masalah serius di Indonesia. Sebagaimana dinyatakan Badan Kesehatan Dunia (WHO), bila di suatu negara terdapat lebih 20% kasus balita gizi kurang dan atau lebih 30% balita pendek, maka masyarakat di negara tersebut dipastikan menghadapi masalah kesehatan yang serius. Merujuk angka tersebut, Indonesia masih berada di zona kuning.

    Memutus Lingkaran Setan
    Harus diakui masih ada lingkaran setan permasalahan gizi di Indonesia. Rendahnya tingkat pendidikan dan kemiskinan sering dituding sebagai penyebab, yang berakibat pada ketidaktahuan dan ketidakmampuan keluarga menyediakan makanan bergizi bagi anak-anaknya. Asupan gizi yang tidak memadai menciptakan generasi yang lemah dari sisi kecerdasan. Pada akhirnya, generasi yang tidak cerdas ini tidak mampu bersaing dalam kehidupan dan tumbuh menjadi kelompok masyarakat miskin baru.

    Maka jelas, lingkaran setan permasalahan gizi ini harus diputus agar tidak terus berulang tak berkesudahan. Pemerintah bersama masyarakat melakukan berbagai upaya sesuai dengan Perpres No. 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Target gerakan ini hingga tahun 2025 adalah menurunkan balita stunting hingga 40%, angka balita kurus di bawah 5%, menihilkan presentase anak gizi berlebih, menurunkan penderita anemia sebanyak 50%, dan pemberian ASI eksklusif hingga 50%.

    Upaya perbaikan gizi melalui Gerakan 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu mulai dari masa kehamilan sampai anak berumur dua tahun, dimaksudkan untuk mencapai pertumbuhan anak yang optimal. Langkah Gerakan 1.000 HPK ini dilaksanakan melalui dua pendekatan yaitu melalui intervensi gizi spesifk dan intervensi gizi sensitif. Sasaran program ini adalah ibu dan anak dari rumah tangga sangat miskin, rentan dan terpinggirkan.

    Manfaat Nyata
    Sejauh ini, Gerakan 1.000 HPK telah menunjukkan hasil nyata. Data Lancet Breastfeeding Series 2016 menyebutkan, ASI Eksklusif Indonesia meningkat dari sebelumnya 38% (Riskesdas, 2013) naik menjadi 65%. Indonesia juga berhasil menurunkan angka stunting yang sebelumnya mencapai 37,2% menjadi 29,0% berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi di 496 kabupaten/kota dengan melibatkan 165.000 balita sebagai sampelnya. Hasil ini diperkuat dengan
    data UNICEF yang melakukan intervensi selama tiga tahun sejak 2011-2014 di tiga Kabupaten di Indonesia (Sikka, Jayawijaya, Klaten) dan berhasil
    menurunkan angka stunting sebesar 6%.

    Keberhasilan ini tentu belum menjadi akhir dari upaya perbaikan gizi di Indonesia. Masih ada permasalahan lain yang tak kalah penting, yakni peningkatan pengetahuan dan pemahaman keluarga khususnya ibu terhadap asupan makanan bergizi seimbang bagi anaknya. Faktanya, banyak keluarga yang seara ekonomi memiliki kemampuan untuk memberikan makanan bergizi, namun absen karena ketidaktahuan mereka. Oleh karena itu, harus ada pendidikan masyarakat tentang pentingnya intervensi gizi bagi kelompok yang membutuhkan.

    Selain itu, keluarga juga perlu didorong untuk melakukan Intervensi Gizi Sensitif untuk mendukung agar upaya intervensi gizi spesifk berhasil secara optimal. Intervensi Gizi Sensitif di antaranya: Menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), stimulasi psikososial bayi dan anak, melaksanakan keluarga berencana, membuat kebun gizi dan ternak kecil, melakukan upaya penanggulangan kemiskinan secara sinergis, membuat mekanisme pengaduan pangan, penyediaan lapangan pekerjaan, kesetaraan gender, dan perbaikan infrastruktur.

    Kita berharap, peristiwa ironis kematian bayi akibat gizi buruk di Pandeglang adalah peristiwa terakhir di negeri ini. Dengan melaksanakan Gerakan 1.000 HPK yang diikuti intervensi gizi spesifk dan sensitif, tak ada lagi balita yang meninggal atau mengalami gangguan kesehatan di Indonesia.*

    Berita Terkait

    Sekilas Kisah Dari Desa Penuktukan

    Nelayan pesisir Desa Penuktukan, Kecamatan Tejakula, Buleleng, Bali, memanfaatkan jaringan internet untuk berkomunikasi seputar aktivitas me Selengkapnya

    Reformasi Birokrasi, Pelayanan Terbaik Untuk Republik

    Banyak orang langsung mengernyitkan kening ketika diajak bicara tentang birokrasi Indonesia. Terbayang di benak, pelayanan yang ruwet dan pe Selengkapnya

    Pemerintah Harus Bekerja Cepat dan Fokus

    Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar aparatur pemerintah meningkatkan efektivitas implementasi program-program prioritas nasional yang Selengkapnya

    SOROTAN MEDIA