FAQ  /  Tautan  /  Peta Situs
    20 09-2018

    2362

    Agama Sebagai Pertahanan Siber

    Kategori Sorotan Media | daon001

    Komisi Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika menyelenggarakan forum dialog dan literasi media sosial di 16 kota besar di seluruh Indonesia.

    Seperti tahun sebelumnya, penyelenggaraan acara ini bertujuan mengendalikan maraknya Konten negatif di dunia maya yang kian panas dalam beberapa tahun belakangan. Dalam acara tersebut, peserta juga diajak untuk memperbanyakkonten positif di dunia maya.

    Sebagai lembaga yang bertugas melindungi agama (himayatuddiin), melindungi umat (himayatul ummah), dan melindungi Tanah Air (himayatul wathon), MUI memiliki kewajiban untuk menanggulangi ancaman dari dunia siber.

    Dengan semakin melonjaknya pengguna internet di Tanah Air, sejatinya menjadi beban yang kian berat jika hanya dipikul oleh satu atau dua lembaga. Tidak cukup hanya MUI dan pemerintan yang harus dibebani atas persoalan ini. Semua pihak harus terlibat aktif menghadapi tantangan yang kian deras akibat pesatnya kemajuan teknologi informasi.

    Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat lebih dari 143 juta pengguna aktif di internet pada 2017. Dari data itu, mereka yang menghabiskan waktu di media sosial hampir mencapai 70%. Jika 1% saja yang mereka unggah adalah materi negatif (ujaran kebencian, radikalisme, pornografi, hoaks, fitnah, dan adu domba), ada sekitar satu juta Konten negatif di media sosial setiap hari yang bisa saja viral ke seantero jagat maya. Dilihat dari perspektif pertahanan negara, tentu hal ini menjadi ancaman serius. Perang siber adalah ancaman paling nyata yang bisa saja memorak-porandakan keutuhan dan kedaulatan NKRI akibat tidak terkendalinya konten-konten negatif di internet.

    Richard Clarke, mantan staf Gedung Putih yang bertanggungjawab atas kontraterorisme dan keamanan siber mengungkapkan, efek dari perang siber bisa bermacam-macam, di antaranya hug komputer, menghentikan sistem email militer, meledakkan pipa dan kilang minyak, sabotase kendali sistem lalu lintas udara, menggelincirkan kereta api, merusak data keuangan perbankan hingga menghentikan operasi pembangkit listrik dan menghancurkan kontrol satelit.

    Begitu dahsyatnya serangan siber, maka beberapa negara pun menerapkan sistem keamanan yang berlapis di dunia maya. Selain itu, dampak terburuk dari semua itu adalah identitas penyerang dalam kekacauan tersebut tetap misterius dan tak diketahui. Sementara Mike McConnell, seorang mantan kepala mata-mata CIA, menilai efek dari perang siber yang paling mematikan dan parah adalah serangan nuklir. Berbagai negara saat ini diketahui tengah membangun dan mempersiapkan keamanan internet dan sekaligus sebagai wadah untuk menghimpun segala usaha pertahanan atau serangan balik terhadap ancaman terorisme.

    Dalam konteks Indonesia, memaknai perang siber bisa diartikan secara utuh ataupun tidak. Pemaknaan utuh artinya memang Indonesia mengartikulasikannya sebagai perang dalam pengertian sebenarnya. Namun, sebaliknya, perang tidak didefinisikan sebagai bertemunya dua pasukan atau lebih di medan laga. Perang senyap yang tidak kelihatan siapa musuh dan lawan, ini menjadi sesuatu yang sulit untuk dihadapi dan ancaman sebenarnya.

    Apa pun kondisinya, perang siber harus disikapi sebagai kesiapan semeslam agama adalah tidak bolehnya umat manusia melakukan kezaliman, fitnah, namimah (adudomba), berdusta, dan sebagainya. Namun, manusia tidak selalu mengikuti ajaran agama.

    Dalam berperilaku di dunia maya, betapa banyak manusia yang secara terang benderang melanggar larangan-larangan tersebut. Agama dikesampingkan hanya untuk memuaskan kepentingan pribadi dan golongan.

    Para pemuka agama ataupun aktivis dakwah harus mengembalikan agama ke jalur sebenarnya. untuk menghadapi segala ancaman dan tantangan yang ada di dalamnya. Kesiapan semesta berarti melibatkan seluruh komponen dari berbagai aspek kehidupan manusia, salah satunya adalah aspek agama.

    Tidak bisa dimungkiri, salah satu perilaku pengguna internet adalah berlomba-lomba unjuk diri, kelompok, ideologi, pemikiran, dan masih banyak lagi. Konstelasi ini kemudian menimbulkan "peperangan" untuk memengaruhi dunia virtual.

    Atmosfer kegaduhan di media sosial terjadi karena masing-masing kelompok saling melempar isu bernuansa politik, ekonomi, ideologi, atau agama yang bisa dibilang tendensius dan provokatif. Kondisi ini melahirkan prasangka terhadap seseorang atau lembaga berdasarkan persepsi (stereotip) karena dibangun berdasarkan sesuatu yang belum tentu sesuai kenyataan di dunia nyata.

    Stereotip menjadi dasar seseorang melahirkan prasangka yang kemudian menyulut perilaku diskriminatif. Kemudian, dari perilaku diskriminatif tersebut melahirkan tindakan nonkooperatif, seperti fitnah dan permusuhan antarkelompok identitas di masyarakat.

    Gaduh di Tahun Politik

    Di tahun politik di Tanah Air, kondisi itu menjadi gaduh karena masing-masing kekuatan politik menggunakan media sosial (medsos) sebagai "medan perang" (battlefields). Pasukan berupa akun-akun anonim dipersiapkan untuk menyerang kompetitor di media sosial.

    Perwujudan perilaku kelompok pendukung individu ataupun kelompok terjadi secara masif di lingkungan internet atau berkutat dalam konstelasi media sosial yang terhimpun dalam komunitas-komunitas tertentu. Ajang debat kusir dan adu berita hoaks seolah menjadi paket menu yang biasa dijumpai dalam arus notifikasi media sosial kita, seperti Facebook dan Twitter.

    Uniknya, komunitas dalam dunia maya yang terlibat dalam "perangsiber" merupakan individu-individu dalam suatu barisan massa yang tidak peduli pekerjaan, karakteristik, inteligensi, dan atribut lainnya. Mereka bereaksi karena diarahkan oleh aktor intelektual (collective mind/ group mind).

    Akun-akun buzzer bermunculan dengan bereaksi mengikuti pemikiran kelompok dan menghasilkan perilaku sesuai arahan aktor intelektual. Efek contagion (efek menular) akan menyebarkan emosi dan perilaku dari satu kepala ke lainnya sehingga menyebabkan individu-individu dalam massa bereaksi dengan cara yang sama.

    Kumpulan pengguna media sosial tertentu memperlihatkan gejolak dan reaksinya dengan proses yang disebut milling, yaitu proses di mana individu-individu menjadi semakin tegang, gelisah, dan bergairah.

    Dengan meningkatnya emosi, kegairahan dan stimulasi timbal balik, maka orang-orang lebih memungkinkan untuk bertindak impulsif (gampang bertindak tanpa pikir panjang). Jika intensitas proses ini meningkat, penularan sosial (socialcontagion) akan timbul yang melibatkan diseminasi impuls atau kata hati yang cepat dan irasional.

    Jika dibiarkan, ini berpotensi menimbulkan aksi di dunia nyata yang berujung pada bentrok, perang, maupun persaingan antarkelompok di tengah-tengah masyarakat. Ini yang menjadi inti perang siber, dimulai dari dunia maya dan bisa saja berakhir di dunia nyata. Jangan sampai kita menyesal karena terlambat menyadari ancaman yang sesungguhnya ada di depan mata.

    Sumber Berita: Harian Seputar Indonesia hal. 7 (20-9-2018)

    Berita Terkait

    Aneka Aplikasi Bantu Penanganan Covid-19

    Pemerintah telah mengambil langkah tegas dalam memerangi penyebaran virus corona di Indonesia, salah satunya lewat teknologi informasi. Selengkapnya

    Bakti Kominfo Sabet Penghargaan Internasional

    Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyambet penghargaan internasio Selengkapnya

    Indonesia Angkat Isu Keamanan Data Di Pertemuan G20 Tingkat Menteri

    Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengedepankan isu kedaulatan dan keamanan data pada pertemuan Selengkapnya

    Kominfo Ajak Karyawan Sumbangkan Gaji untuk Penanganan Corona

    Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengajak seluruh karyawannya untuk menyisihkan uang gajinya guna disumbangkan membantu perc Selengkapnya

    SOROTAN MEDIA