Kesejahteraan Untuk Semua
Duapuluh enam jam, alias sehari semalam lebih. Itulah waktu yang dibutuhkan untuk menempuh perjalanan darat dari ibukota Provinsi Kalimantan Selengkapnya
Seberkas kebimbangan tampak menyeruak di wajah Ahmadun (73). Petani di Kecamatan Blang Jerango, Gayo Lues, NAD ini bingung saat akan mewariskan sebidang tanah miliknya kepada anakanaknya yang berjumlah tujuh orang. Luas tanah yang dimilikinya hanya 112 meter persegi. Jika dibagi rata, maka setiap anaknya hanya akan mendapatkan tanah 16 meter persegi. Jangankan untuk lahan pertanian, sekadar mendirikan rumah
saja tak memungkinkan di atas lahan sesempit itu.
Ahmadun bercerita, sejatinya dulu tanah milik orangtuanya lumayan luas, sekitar 1.000 meter persegi. Namun karena ia bersaudara jumlahnya 10 orang, maka saat tanah itu diwariskan kepadanya ia hanya memperoleh bagian sekitar 100 meter persegi. “Tanah itulah yang saya bagi ke anak-anak saya, sehingga masing-masing hanya mendapatkan 4 x 4 meter. Sangat sempit, tapi bagaimana lagi, karena kekayaan saya hanya itu,” ujar kakek 15 cucu dan satu cicit ini.
Untunglah anak-anaknya bersikap arif. Beberapa merelakan tanah warisan itu dibeli saudaranya dengan harga wajar, sehingga tidak harus dipecah berkeping menjadi tujuh bagian. “Tak bisa dibayangkan kalau semuanya berkeras minta tanah,” ungkap Firmansyah (56), anak bungsu keluarga Ahmadun.
Makin Menyempit
Penguasaan tanah oleh petani di Indonesia memang mengalami penurunan setiap tahunnya. Di sisi lain, jumlah petani gurem baik pemilik maupun penyewa semakin meningkat, begitu juga dengan petani penggarap yang semuanya itu dapat dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Sebaliknya, konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria oleh segelintir orang semakin mencuat. Ketimpangan penguasaan tanah tersebut pada akhirnya bermuara pada kemiskinan yang terjadi di perdesaan.
Baru-baru ini Badan Pusat Statistik (BPS) merilis Profil Kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan rilis tersebut, jumlah penduduk miskin di Indonesia per
Maret 2016 mencapai 28,01 juta jiwa atau 10,86 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Berdasarkan profl kemiskinan BPS tersebut, persentase penduduk miskin di perdesaan meningkat karena usaha pertanian menurun.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka pemerintah pun mengupayakan percepatan implementasi reforma agraria. Reforma agraria dapat didefnisikan sebagai suatu proses penataan ulang kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agrarian (khususnya tanah). Reforma agraria sebenarnya bukanlah hal yang baru. Jauh sebelum era pemerintahan Presiden Joko Widodo kebijakan tersebut sudah ada dan pernah dilakukan, hanya
saja pelaksanaannya tidak maksimal. Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, reforma agraria ini masuk ke dalam RPJMN 2015-2019
yaitu komitmen untuk memberikan tanah kepada masyarakat, khususnya petani, dengan total luas 9 juta hektar. Angka tersebut terbagi menjadi dua,
yaitu legalisasi aset dan redistribusi tanah dengan jumlah masing-masing 4,5 juta hektar.
Mengapa Reforma Agraria?
Ketimpangan penguasaan tanah negara
Munculnya krisis sosial dan ekologi di perdesaan
Indikasi terjadinya krisis ditunjukkan dengan makin menurunnya kualitas lahan pertanian di perdesaan, semakin terdesaknya lahan untuk pertanian yang
dimiliki petani dan makin berkurangnya jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor produksi pertanian. Krisis sosial juga ditandai dengan tingginya angka penerima beras untuk rakyat prasejahtera yang tinggal di perdesaan (15,5 juta orang). Sedangkan krisis ekologi ditunjukkan oleh keberadaan desa dengan status rawan air di 15.775 desa dan kekeringan di 1.235 desa.
Pemerintah tidak tinggal diam. Sejumlah strategi pun dikeluarkan untuk mengatasi permasalahan pokok tersebut yaitu dengan membuat kebijakan peta tunggal (one map policy), legalisasi sertifkat aset lahan, redistribusi tanah bagi rakyat, dan pemanfaatan hutan bagi rakyat.*
Duapuluh enam jam, alias sehari semalam lebih. Itulah waktu yang dibutuhkan untuk menempuh perjalanan darat dari ibukota Provinsi Kalimantan Selengkapnya