FAQ  /  Tautan  /  Peta Situs
    16 01-2017

    6633

    Ramai-ramai melawan hoax

    Kategori Sorotan Media | yovita

    Kado awal tahun ini tak disangka Abu Miqdad. Situs yang sudah ia dirikan tiga tahun lalu, www.dakwahtangerang.com tak bisa diakses pembaca. "Mulai Selasa (3/1) beberapa pembaca mengeluhkan tak bisa membaca situs kami," ujarnya saat dihubungi, Selasa (10/1). Belakangan, dia tahu situs itu diblokir oleh pemerintah bersama 10 situs lainnya di awal tahun ini. Pemerintah menyatakan, situs-situs itu diblokir karena beberapa sebab. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menilai, situs itu mengandung konten negatif. Misalnya ujaran kebencian, fitnah, provokasi, SARA, hingga penghinaan simbol negara. Kamis (5/1) perwakilan para situs yang kena blokir ini bertemu dengan kementerian. "Tapi tak dijelaskan kenapa kami diblokir," kata dia.

    Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Kominfo, Semuel A Pangerapan menyatakan, dari 11 situ itu, lima sudah dibuka lagi karena mereka mau memperbaiki kesalahannya. Lalu apa kesalahan www.dakwahtangerang.com. "Kalau mereka mau menghadap, kami jelaskan detil kesalahan mereka," kata Semuel. Miqdad membantah jika situsnya menyebar hoax. "Ga ada berita yang mengada-ada," ujarnya. Situs itu ia gunakan menyampaikan informasi terkait dengan agenda dakwah di seputar Tangerang."Kami juga meneruskan (forward) situs lain yang jelas sumbernya," ujarnya. Miqdad menyebut, situs yang isinya ia teruskan di antaranya Hizbut Tahrir dan Eramuslim. Sedangkan berita umum, ia nukil dari Kompas atau Republika. "Kami tak pernah edit. Utuh, tak ada tambahan, tak ada yang dikurangi," ujarnya.

    Hoax bisa diartikan sebagai kabar bohong. Motifnya bisa untuk mengeruk profit lewat iklan (Google Adsense), atau kepentingan lain. Miqdad menyatakan, situsnya tak membuka ruang iklan. Ia juga tak mengejar laba. "Ini masalah dakwah," kata dia. Menurut pakar media sosial Nukman Luthfie, hoax sebenarnya sudah lama muncul. Misalnya hoax tentang cara mudah menjadi kaya, penggandaan uang, hingga cara mengobati penyakit keras dengan mudah.Dalam kondisi normal, hoax soal kekayaan dan kesehatan banyak yang beredar. Dalam kondisi masyarakat yang sedang terpecah oleh politik, isi hoax tak jauh dari politik. Hoax makin mudah tersebar saat publik bersentuhan dengan media sosial. Semua pengguna media sosial bisa menjadi pembuat hoax. Baik untuk mendukung calon jagoan atau menjatuhkan calon lawan. Lalu menyebarkannya lewat media sosial. "Media sosial itu bukan media penyebaran informasi, tapi penyebaran emosi,"

    Pembaca di media sosial juga tak bisa membedakan itu hoax atau bukan. "Media sosial itu bukan media penyebaran informasi, tapi penyebaran emosi," kata CEO social commerce Jualio.com ini. Mereka menyebarkan informasi bukan pada berdasar apakah informasi benar atau tidak, tapi apakah informasi tersebut sesuai dengan keyakinan mereka. Ketua Dewan Pers Yosep 'Stanley' Adi Prasetyo menyatakan, apa yang beredar di media sosial bukanlah produk berita, tapi masih berupa info. Berita, menurutnya adalah kumpulan informasi yang sudah diperiksa kebenarannya sebelum disampaikan kepada publik.Sedangkan info, adalah potongan pesan yang disampaikan seseorang. Isinya bisa benar, bisa tidak. Info palsu ini yang kerap disebut hoax. Kenapa publik bisa percaya kepada hoax? Menurut Nukman, karena kepercayaan publik kepada media arus utama (mainstream) turun jauh. Publik lalu mencari info yang tak ada di media arus utama. Mereka lalu mencari ke media sosial.

    Publik merasa, media arus utama sudah dicekik oleh pemerintah. Publik yang pro pemerintah tak akan percaya kepada media oposisi.Sebaliknya, publik yang kontra pemerintah, emoh membaca media propemerintah. Stanley menjelaskan, media arus utama memang juga turut menyumbang hoax. Faktor politik turut membuat kepercayaan publik terhadap media arus utama melorot. Misalnya, partai politik membentuk media, atau menggunakan media. Tak jarang, wartawan maju menjadi calon legislatif, menjadi tim sukses atau joki politik. "Akibatnya, publik kehilangan netralitas pers dan isi kebenaran media," ujar Stanley. Publik lalu beralih ke media sosial, memungut informasi yang belum diverifikasi. Di media sosial, hoax tumbuh menjamur. Stanley menjelaskan, pola persebaran hoax memang dekat dengan media sosial. Isu yang dilempar ke media sosial, cepat menjadi ramai. Isu lalu disantap oleh media online, menjalar ke media televisi dan cetak. Lalu muncul isu hoax lagi. Lalu berputar lagi. Ibarat Amoeba, hoax berkembang biak cepat dengan membelah diri. Seolah mereka ada dan berlipat ganda.


    Bagaimana memerangi hoax?

    Selama ini, pemerintah memblokir konten negatif berdasar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.Pemblokiran berdasar laporan masyarakat atau pun permintaan dari lembaga terkait. Misalnya, BNN, BPOM, Polri, atau lembaga lain.Sepanjang 2016, pemerintah memblokir 773 ribu situs. Paling banyak situs yang diblokir adalah situs pornografi dan perjudian. Lalu disusul oleh masalah penipuan, radikalisme dan SARA. Tapi pemerintah akan mengambil langkah lain, mengguyur dunia maya dengan konten positif. "Kalau blokir konten negatif, capek juga," kata Semuel. Pemerintah, ujarnya, akan menyediakan sejuta domain dan hosting, semuanya gratis. Agar publik yang peduli, mau memproduksi konten positif dan melawan hoax.

    Sedangkan Dewan Pers, akan memverifikasi media massa. Dengan adanya verifikasi media, maka pembaca bisa membedakan media mana yang layak dipercaya, dan media abal-abal. Untuk verifikasi itu, Dewan Pers mensyaratkan, sebuah media harus memenuhi delapan unsur. Yakni, memiliki badan hukum, terdaftar di Kemenkum HAM, mencantumkan penanggung jawab, dan mencantumkan alamat redaksi. Selain itu, media juga patut menggaji wartawan 13 kali dalam setahun minimal setara UMP, melatih kecakapan wartawan, melindungi jika wartawannya terancam, dan Pemimpin Redaksinya harus memiliki kompetensi Wartawan Utama.

     

    Verifikasi media akan diluncurkan bersamaan dengan Hari Pers Nasional 9 Februari nanti Rencananya, mereka akan meluncurkan verifikasi media ini dalam perayaan Hari Pers Nasional 9 Februari nanti di Ambon, Maluku.

    Ada 18 grup media yang sudah diverifikasi.

    Verifikasi itu nanti akan berbentuk QR(Quick Respone) Code, untuk media cetak dan media online. Sedangkan untuk media radio dan televisi, verifikasi akan berbentuk jingle yang diputar sebelum dan sesudah siaran konten berita. Bagaimana jika media milik partai ikut verifikasi? Dewan Pers tak masalah. "Asal pemberitaannya sesuai dengan kode etik jurnalistik," kata Stanley. Miqdad sepakat dengan rencana Dewan Pers. "Kalau untuk menjadi profesionalisme, kami sepakat," ujarnya. Tapi jika untuk mengebiri portal berita dia sangat tidak setuju. "Ini kemunduran ke era Orba," kata dia. Namun, dia mengakui jika medianya memang tak memiliki badan hukum. Hingga tulisan ini diterbitkan, situs asuhan Miqdad masih diblokir. Di sisi lain, pemerintah akan menempuh jalur memotong akses bagi penyebar hoax di media sosial, atau mesin pencari Google.

    Menurut Semuel, pemerintah akan bertemu dengan perwakilan perusahaan-perusahaan internet itu. "Mudah-mudahan akhir bulan ini sudah ada tanggalnya," tuturnya. Polri juga punya langkah lain. Mereka akan menyisir hoax di media sosial. Kepala Biro Penerangan Masyarakat, Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Rikwanto menyatakan polisi akan menstempel kabar-kabar hoax di media sosial lewat akun resmi mereka. Tujuannya, untuk memotong kebingungan masyarakat dari serangan hoax. Polisi akan menyaring berita di media sosial, menelitinya, dan membubuhinya dengan stempel 'HOAX'. Walau ada perangkat hukum, Polri lebih mengedepankan pencegahan. "Kalau jalur hukum diikuti, nyari orangnya susah," ujar Rikwanto. Perangkat hukum sebenarnya memberikan sarana untuk menjerat pembuat kabar bohong. Di antaranya pasal 156 KUHP tentang pernyataan permusuhan. Lalu pasal 27 ayat 3 UU ITE dan pasal 310 ayat 1 tentang penghinaan dan nama baik seseorang.

    Sepanjang 2016, Polri menangani setidaknya 162 kasus karena urusan media sosial. Pelajar Sekolah Darul Hikam menggelar acara Deklarasi Muslim Anti Kabar Hoax, Bandung, Jawa Barat, Kamis (12/1). Kalangan berpendidikan masih banyak yang turut menyebar hoax. Pelajar Sekolah Darul Hikam menggelar acara Deklarasi Muslim Anti Kabar Hoax, Bandung, Jawa Barat, Kamis (12/1). Kalangan berpendidikan masih banyak yang turut menyebar hoax.

    Kenapa orang berpendidikan juga menyebar hoax?

    Pemerintah akan menyadap status dan percakapan di layanan tukar pesan. Kabar ini tentu mengagetkan.Pemerintah, disebut akan mengadakan big data cyber security (BDCS). Tujuannya untuk menangkal hoax. Isu ini berantai datang ke dalam beberapa linimasa media sosial dan aplikasi pertukaran pesan. BDCS berkembang menjadi isu untuk menuding pemerintah makin otoriter dan himbauan hati-hati bersuara di media sosial. Andrinof Chaniago turut menyebar kabar ini. Belakangan, mantan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional itu tahu kabar ini ternyata hoax. Kemenkominfo secara resmi membantahnya. Andrinof segera minta maaf dan meralat kabar yang ia sebar.

    Dari mana kabar ini berasal? "Saya lupa dapatnya dari mana, apa dari Twitter atau grup WhatsApp," tulis Andrinof saat dihubungi lewat pesan Facebook. Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, banyak orang berpendidikan yang tertipu hoax. Merujuk penelitian yang mereka gelar bersama Kominfo pada 2015, korban berita bohong maupun SMS penipuan sebagian besar adalah generasi transisi, yang baru mulai kenal dengan teknologi saat sudah dewasa. "Banyak malah profesor dan doktor yang percaya pada kabar bohong tersebut, "Banyak malah profesor dan doktor yang percaya pada kabar bohong tersebut," ujarnya. Kasus itu tak hanya menimpa Andrinof, beberapa kalangan berpendidikan juga ikut termakan hoax. Umumnya mereka turut menyebar hoax lewat media sosial.

    Menurut Nukman Luthfie, daya skeptis yang umumnya dimiliki kalangan berpendidikan bisa tumpul di media sosial. Nukman menduga, media sosial memang tak memancing akal kita untuk skeptis. Apalagi saat menyoal urusan pilkada, daya skeptis itu mati semua. Nukman menduga pada dasarnya media sosial adalah media untuk penyebaran emosi positif maupun emosi negatif. Bukan penyebaran kebenaran. "Apapun yang menyentuh emosi pengguna, akan mudah disebar," kata dia.Septiaji Eko Nugroho, Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax memiliki praduga lain. Masalah budaya baca menurutnya menjadi pangkal merebaknya hoax. Dengan minimnya kebiasaan membaca, membuat netizen juga minim menulis. "Akhirnya mereka hanya membagi (share) atau hanya meneruskan (forward) kabar saja," kata dia.

    Dengan banyaknya hoax bertebaran, Septiaji mengkhawatirkan kualitas generasi mendatang. Bonus demografi yang digadang-gadang, bisa sia-sia jika mereka percaya hoax sejak dini. Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Suwarjono menilai, kita sedang menghadapi generasi dan perilaku baru. Sebelumnya media arus utama dominan. Tapi sekarang media arus utama mundur dalam kepercayaan publik. Media sosial jadi alternatif. "Kami sedang menumbuhkan kembali media arus utama agar kembali menjadi acuan," kata dia. Generasi milenial, lebih banyak mengkonsumsi media sosial. Namun, konten media sosial tak didominasi oleh konten yang diproduksi oleh wartawan yang kompeten. Akibatnya, mereka dilimpahi informasi tak terverifikasi. Sebab lain yang mungkin menyebabkan jebakan hoax ini menjerat para sarjana adalah literasi media alias pemahaman mereka terhadap lanskap media massa.

    Stanley memaparkan, ada empat kuadran yang membedakan media di Indonesia. 

    Kuadran I adalah media yang terverifikasi di Dewan Pers. Memiliki alamat dan awak redaksi yang jelas, yang bekerja sesuai Kode Etik Jurnalistik. Berita yang dimuat adalah berita positif. 

    Sedangkan kuadran II adalah media dengan pemberitaan positif, dengan alamat redaksi yang jelas dan bekerja sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik. Tapi mereka tak terdaftar di Dewan Pers.

    Kuadran III adalah media paling gelap. Mereka memuat berita negatif, kebencian, hoax dan sejenisnya. Alamat dan identitasnya juga tak tercatat di Dewan Pers. Kerja mereka jelas melanggar Kode Etik Jurnalistik.

    Sedangkan kuadran IV ditempati oleh media yang sudah terdaftar di Dewan Pers. Hanya saja, media di kuadran IV ini tak profesional dalam pemberitaan. Tak taat pada Kode Etik Jurnalisitik. Mereka dikenal sebagai media kuning atau juga media partisan.

    Jika ada kasus pemberitaan, Dewan Pers hanya memberi rekomendasi sesuai Undang-undang Pers, pada media yang ada di Kuadran I. Baik itu dalam bentuk hak jawab, permintaan maaf, atau koreksi. Untuk kuadran II, Dewan Pers masih mungkin memberikan rekomendasi dan menggelar mediasi. Tapi untuk kuadran III dan IV, menurut Stanley bukan lagi menjadi kewenangan Dewan Pers. "Itu sudah masuk ranah pidana," kata Stanley.

    Bagaimana agar tak menjadi korban hoax?

    Isi hoax umumnya mengagetkan. Judulnya selalu membetot mata. Tapi kebenaran informasinya sangat meragukan. Bahkan Polri sempat tegang hubungannya dengan Komisi Hukum DPR. Muasalnya, adanya kabar Eko Patrio, salah satu anggota Komisi Hukum, menyebut penangkapan terduga teroris hanya pengalihan isu. Setelah diperiksa, ternyata Eko dicatut namanya. "Kasus ini masih diselidiki," ujar Karo Penmas, Brigjen Rikwanto. Menurut Stanley, kasus ini sudah termasuk ranah pidana dan menjadi kewenangan polisi. Bukan kewenangan Dewan Pers. Nukman punya saran bagaimana agar tak terjebak hoax. Pertama, ia bersihkan linimasanya dari para penyebar hoax. Dengan langkah ini, linimasanya minim terpapar hoax. Kedua, untuk Twitter, ia susun List khusus teman-teman yang bisa dipercaya. Dengan adanya List ini, maka sumber berita yang ia percaya bisa diketahui siapa penyebarnya. Jika musim Pilkada tiba, prosedur penangkal hoax itu ia tambah, apapun yang akan retweet/komentari terkait Pilkada, ia cek-ricek.

    Stanley memaparkan, hoax memang berkelindan dengan politik. Ia bahkan memprediksi, hoax akan tetap marak pada Pemilu 2019 nanti. Untuk menangkalnya, ia punya saran bagaimana menempatkan informasi yang beredar

     

    Sumber : https://beritagar.id/artikel/laporan-khas/ramai-ramai-melawan-hoax

    Berita Terkait

    Hoaks Makin Merajalela Jelang Pemilu

    Selengkapnya

    Pandu Digital, Gerakan Milenial Melawan Hoaks

    Apalagi jika dibakar oleh algoritma mesin-mesin platform media sosial yang menciptakan efek “ruang gema”. Selengkapnya

    Agama Sebagai Pertahanan Siber

    Komisi Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika menyelenggarakan forum dialog d Selengkapnya

    Startup harus maksimalkan IoT

    Startup disarankan untuk memaksimalkan inovasi Internet of Things (IoT) agar aplikasi yang dikembangkannya bisa menjadi solusi bagi masalah Selengkapnya

    SOROTAN MEDIA