FAQ  /  Tautan  /  Peta Situs
    28 09-2019

    1521

    Kisah Veteran tentang Soetoko, Pengambil Keputusan Taktis AMPTT

    Kategori Artikel | Yusuf
    - (LR)

    Bandung, Kominfo - Tak banyak yang tahu, setiap tanggal 27 September Indonesia memperingati Hari Bhakti Postel. Mungkin, hari itu hanya terkenal di kalangan pegawai Post Telegraph dan Telephone (PTT). Konon, penetapan hari bersejarah itu sebagai penghargaan atas perjuangan putra-putri Indonesia. Hari ketika 74 tahun lalu, pejuang PTT mengambil alih kantor jawatan dari penguasaan Pemerintah Jepang. Inilah kisah AMPTT dibalik peringatan Hari Bhakti Postel.

    Soehartono, 87 tahun, veteran PTT berkisah soal malam pengambilalihan kantor jawatan yang berada Jalan Cilaki 73 Bandung. "Malam itu seluruh anggota Angkatan Muda Post Telegraph dan Telepon (AMPTT) disebar untuk mencari dan mengumpulkan senjata tajam, kendaraan bermotor, senjata api dan kebutuhan lainnya. Siasat dan taktik pun langsung disusun. Para penduduk dan Pemuda AMPTT pun saling bekerja sama," tuturnya mengenang perjuangan pegawai PTT yang berubah jadi pos dan telekomunikasi beberapa dekade kemudian.

    Soehartono, yang kini menjabat Wakil Ketua Veteran PTT itu menyebut satu nama pemuda AMPTT penggerak: Soetoko. Dalam ingatan Soehartono, nama Soetoko terpatri sebagai sosok pemuda heroik. Soetoko menjadi eksekutor perebutan Jawatan PTT tepat tanggal 27 September 1945. Setelah selama tiga hari perundingan dengan pihak Jepang menemui jalan buntu.  

    Sebelumnya, di meja perundingan, upaya Mas Soeharto dan R. Dijar selalu ditolak Jepang. Padahal dari pertemuan AMPTT, Kantor Pusat PTT harus sudah dikuasai paling lambat akhir bulan September 1945 oleh bangsa Indonesia. Sayangnya, usaha tersebut terbilang gagal, terlebih perundingan dengan pihak Jepang sudah dilakukan sebanyak tiga kali berturut-turut.

    Lewat pertemuan demi pertemuan, para pemuda berusaha mendekati Jepang agar menyerahkan kekuasaan di Kantor PTT. Namun, komandan pasukan Jepang menginstruksikan penyerahan Kantor Pusat PTT harus dilakukan oleh tentara sekutu.

    Pihak Jepang hanya memperbolehkan pengibaran bendera merah putih, dan penurunan bendera Jepang dilakukan di halaman belakang kantor. Hal tersebut pula yang akhirnya membuat pemuda Indonesia terpaksa melakukan perebutan dengan menggunakan kekerasan dan gencatan senjata.

    Keputusan Taktis

    Soetoko dimata Soehartono yang ketika berusia 9 tahun adalah pemuda yang sangat jenius dan brilian. "Tanpa tekad dan semangatnya belum tentu Postel itu ada (sekarang)," tegas Soehartono yang baru bergabung dengan Postel tahun 1954. Kala itu ia ikut bergerilya memperjuangkan kebebasan pos dan telekomunikasi bersama AMPTT.

    Menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan yang sudah berlangsung selama satu bulan. Soetoko menggalang keputusan AMPTT: tanggal 27 September 1945 Jawatan PTT harus direbut dengan kekerasan dari tangan Jepang!

    Soehartono berkisah, tanggal 27 September 1945 ketika itu AMPTT mengepung ruangan kantor. Akhirnya pemerintah Jepang menyerahkan senjata secara sukarela. Pemuda PTT pun menurunkan bendera Jepang. Sebagai gantinya, Sang Saka Merah Putih berkibar di tiang listrik. Tak berapa lama, pemuda Soetoko membawa Mas Soeharto dan R. Dijar ke depan massa. Di depan massa, Soetoko mendelegasikan perebutan kekuasaan PTT.

    Bagi Soehartono, makna utama dalam Hari Bhakti Postel adalah memutar kembali rangkaian seharan keberanian AMPTT merebut kantor PTT dari tangan pemerintah Jepang. "Ini adalah perjuangan pendahulu kita yang dipimpin oleh pemuda yang bernama Soetoko yang ketika itu saya masih berusia 9 tahun. Mengapa? Dalam rangka memproduksi kantor pusat Pos Indonesia saat ini, itu hanya 40 hari setelah proklamasi, padahal tahun 1946. Kemudian setelah 1 tahun Indonesia merdeka bung Karno sampai diasingkan ke Jogja," tutur Soehartono sembari mengais bilik ingatannya.

    Dengan intonasi tegas, Soehartono menegaskan kembali tentang kepahlawanan AMPTT. "Soetoko berani berjuang mengambil alih gedung PTT ini. Saat itu 78 pahlawan mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan bahkan sampai rela menyerahkan nyawanya untuk memerdekan kebebesan postel. Dulu pejuang postel ada 431 orang, sekarang tinggal 36 orang," kenangnya.

    Keberhasilan AMPTT merebut Gedung Pos di Bandung membuat negara Indonesia yang baru merdeka memiliki dukungan infrastruktur telekomunikasi. Konon, perangkat itu pula yang membuat perjuangan gerilya tentara dan rakyat Indonesia sukses mengusir penjajah.

    "Semua peralatan terutama telekomunikasi yang bisa diangkut kita angkut setelah kita merdeka. Untuk apa? Karena pada waktu keadaan sudah sangat kritis, kita bersama rakyat dan tentara bersatu padu bergerilya melawan penjajah. Untungnya ada sarana telekomunikasi ini yang berhasil kita bawa, kalau tidak gerilya kita gak karuan," tutur Soehartono.

    Veteran Soehartono menyebut, perjuangan AMPTT harusnya menjadi cermin bagi generasi sekarang untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.  "Terus terang saja dengan gerilya demikian yang hanya cuma menggunakan senjata bambu runcing (istilah yang terkenal itu) dibantu dengan peralatan telekomunikasi yang ada, kita bisa mempertahankan kemerdekaan. Ini yang harus kita jaga dan menjadi tugasnya anak-anak muda sekarang menjaganya," jelasnya.

    Soehartono paling senang dengan kisah para pemimpin. Antusiasmenya tampak dengan pilihan kata ketika berkisah tentang Soetoko, pemuda AMPTT yang mengambil keputusan taktis untuk merebut Gedung Pos. Mengutip penggalan Amanat Proklamasi Bung Karno, Soehartono menegaskan dasar pengambilalihan Gedung Pos. "Bahwa hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain sebagainya diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya," ucapnya tegas dengan intonasi meniru sang proklamator.

    Dalam pandangan Soehartono, AMPTT memaknai seruan proklamasi dengan merebut Gedung Pos. "Moto ‘Gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja, para kawula iyeg rumagang in gawe. Subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku’, yang memiliki arti ‘bekerja bersatu padu, jauh daripada hasut, dengki, orang berdagang siang malam hentinya, tidak ada halangan di jalan, menjadi pengingat yang namanya merdeka itu adalah bebas dengan ketentuan undang-undang, aturan-aturan, tata tertib, dan etika," panjang lebar Soehartono berkisah tentang filosofi yang bisa diambil dari perjuangan pemuda AMPTT.

    Bersatu Saling Hormati

    Dalam dialog yang berlangsung hampir sejam, Soehartono menyatakan kesedihannya. Pasalnya, saat ini makna kemerdekaan diartikan dengan makna yang sangat sempit oleh generasi saat ini. "Bebas tak terbatas di jaman sekarang masyarakat kita (mohon maaf, ya), tidak memperhatikan itu lagi sehingga mengakibatkan di mana -mana terjadi pertempuran, serang-menyerang antara satu dengan kelompok yang lainnya," ungkapnya.

    Bagi Soehartono, kemajuan yang dicapai oleh Republik Indonesia saat ini sangat sayang jika harus diisi dengan tindakan yang tidak produktif atau bahkan mengancam kesatuan bangsa. “Banyak anak-anak SD, SMP, SMA sekarang ini seringkali bertengkar terus dengan sesama temannya, bahkan tetangga di RT/RW pada saling berantem. Mengapa bisa jadi begini padahal kita sudah dengan kemajuan yang luar biasa,” ungkapmya. 

    Bahkan sekarang, menurut Soehartono, banyak anak muda mulai ikut-ikutan demo dimana-mana yang berujung 'merugikan' ke masyarakat sekitar. Padahal menurut Soehartono, demonstrasi itu sebenarnya baik dan menjadi hak asasi setiap orang. "Tapi satu hal yang harus diperhatikan oleh kita yang berdemo itu adalah penuhi dahulu kewajibanmu niscaya hakmu akan kau dapatkan. Ada hak, ya, pasti ada kewajiban. Jadi mengapa kewajibanmu gak kau perhatikan, inilah yang saya kritik kalau ada rapat-rapat atau seminar,” tandasnya.

    Kini, di usia senja, Soehartono mengingatkan kembali agar setiap warga negara saling menghormati. "Apalagi kemerdekaan itu diraih berkat pendahulu kita, para pemimpin kita. Inilah tugas dari pemuda-pemudi kita sekarang untuk bisa membatasi disamping hak tentunya ada kewajiban yang harus dipenuhi. Kalau mau menuntut haknya, lakasanakan lah dulu kewajibannya dengan baik," kenangnya.

    Bahkan, Soehartono berharap agar kemerdekaan dimaknai dengan bijak. Bukan lagi bebas berbuat apa saja tanpa menghormati orang lain. “Jangan haknya aja yang dituntut sehingga kita harus beranggapan bahwa ini adalah kebebasan bicara, tetapi tidak boleh bicara sembarangan. Masa pimpinan kita dihina se-enak udelnya saja. Kemerdeakan kita di mana kalau sudah begitu,” tandas Soehartono. (hm.ys)

    Berita Terkait

    SOROTAN MEDIA