FAQ  /  Tautan  /  Peta Situs
    04 04-2019

    14571

    Literasi Digital, Kerja Bersama Melawan Kepicisan

    Kategori Sorotan Media | daon001
    ilustrasi literasi media

    Internet dan media sosial kerap kali dituding sebagai penyebab perubahan-perubahan radikal di dunia politik. Siapa menyangka, Amerika Serikat yang pernah punya sejarah panjang diskriminasi rasial dan trauma pemboman menara WTC bakal memiliki presiden kulit hitam dengan nama tengah kearab-araban pula. Barack Hussein Obama berhasil memanfaatkan momentum euforia publik atas kehadiran media sosial. Faktor sukses Obama dipengaruhi oleh strategi kampanye media sosial dan teknologi sehingga mampu mengumpulkan dana dan yang paling penting memberdayakan relawan sehingga mereka merasa sedang mengubah sesuatu.

    Selain memunculkan aktor baru yang progresif, platform media baru yang diakomodasi oleh Internet turut membantu proses demokratisasi. Interaksi serta mobilisasi melalui media sosial menjadi katalis, munculnya gelombang pembangkanan sipil dan protes Arab Spring di wilayah Afrika Utara yang didominasi sistem pemerintahan otoriter. Di Hong Kong, anak muda mengorganisasi gerakan dan menciptakan kanal informasi alternatif kala Revolusi Payung meletup. Fitur unggah status, bagikan, dan sukai, di media sosial menjadikan protes damai ini sebagai gerakan sosial yang paling terdokumentasi dengan baik dalam sejarah.

    Namun teknologi tidak pernah bersifat deterministik. Karenanya tumbuh kebaikan, pun berkatnya muncul pula keburukan. Strategi microtargeting yang mengekspoitasi prasangka rasial melalui sejumlah media sosial diyakini menjadi salah satu kunci kemenangan Donald Trump di pemilu Amerika Serikat 2016. Akibatnya, hampir setengah dari penduduk Amerika Serikat pernah beradu argumen dengan seseorang (baik teman, keluarga, rekan kerja ataupun kerabat.) tentang pilihan politiknya. Friksi akibat beda pendapat melampaui pagar diskursus politik hingga ke tahap personal. Apalagi dengan adanya media sosial, ekspresi politik semakin kentara sehingga keberpihakan politik sudah merasuk hingga membentuk identitas sosial. Bahkan terbukti mengubah pola interaksi masyarakat Amerika Serikat dengan orang yang berhaluan politik lain.

    Berkat fitur interkonektivitasnya, media sosial menyusul peran media massa sebagai pembentuk opini publik. Meski konten di dalamnya bersifat sporadis, tidak teregulasi, dan terbuka pada kontribusi media sosial semakin menjadi andalan masyarakat dalam mencari sumber informasi. Media sosial memainkan peran lebih besar selain sebagai sumber informasi, yakni sebagai ruang berkomunikasi dengan lingkaran internal yang sifatnya intim, sekaligus sebagai ruang diskusi yang sifatnya publik. Dengan durasi rata-rata masyarakat Indonesia menggunakan media sosial selama 3 jam 26 menit, dari total 8 jam 36 menit terhubung ke Internet, maka tidak berlebihan jika apa yang dikonsumsi di dunia maya akan mempengaruhi persepsi dan perilaku di dunia nyata. Hal ini dapat menjadi masalah jika kemudian informasi yang tersaji melulu sampah yang tak layak dikonsumsi nalar.

    Kualitas Picisan, Sebagai ruang publik, Internet setali tiga uang dengan lapangan fisik terbuka di mana semua orang dapat berkumpul. Terdapat kesepakatan mengenai apa yang bisa dilakukan dan tidak, berikut konsekuensi tindakan. Guna mencapai fungsi optimal yang menjamin asas inklusivitas, kebebasan berpendapat, dan diimbangi dengan bobot bahasan, maka perlu ada pengawalan penuh agar pengunjungnya betah. Hal ini dipertegas pula oleh Profesor Ang Peng Hwa selaku Direktur Singapore Internet Research Center Nanyang Technological University. Menurutnya, ketika ditemui secara khusus oleh penulis di kantornya pada September 2018, mekanisme pasar “Market for Lemons” oleh ekonom George A. Akerloff dapat pula berlaku pada kekondusifan ekosistem diskusi publik di media sosial. Lemons di sini maksudnya adalah “barang cacat” atau yang berkualitas rendah, istilah lain dalam bahasa Inggris. 

    Akerloff mengamati pasar mobil bekas dan memformulasikan sebuah konsep. Ketika ada dua jenis komoditas dengan kualitas berbeda lalu penjualnya memonopoli informasi mengenai kualitas komoditas tersebut, maka komoditas dengan kualitas picisan akan dapat dinilai lebih tinggi sementara sebaliknya komoditas yang berkualitas tinggi dapat jeblok nilainya. Sehingga pada akhirnya, komoditas yang berkualitas rendah akan dapat “menenggelamkan” komoditas berkualitas baik dari pasar. Ini berlaku pula dalam peredaran informasi di dunia maya. Silakan ganti posisi mobil bekas dengan kepingan-kepingan informasi yang tersirkulasi, sementara penjual bisa diibaratkan institusi atau individual yang menciptakan informasi tersebut; salah atau benar, valid atau tidak, yang paling tahu adalah produsen, bukan konsumen.

    Menurut Profesor Ang, Indonesia memiliki tantangan lebih berat di masa pemilu serentak tahun ini jika dibandingkan dengan Singapura. Selain skala cakupan wilayah, durasi masa kampanye juga jauh berbeda: Singapura hanya berlangsung selama sembilan hari sementara Indonesia hingga enam bulan. Banjir bandang konten sampah seperti hoaks dikhawatirkan mampu mempengaruhi iklim dan kualitas pengambilan keputusan para generasi milenial, termasuk dalam urusan politik. Dari sisi persentase, menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) per 2017-2018, setidaknya 49,52 persen pengguna Internet Indonesia berusia antara 19-34 tahun atau populer dilabeli sebagai generasi milenial. Ketika persentase tersebut dipetakan dari total 150 juta pengguna Internet (Kemp, 2019) atau sekitar 56 persen dari total 268,2 juta penduduk Indonesia, maka terdapat sekitar 75 juta generasi milenial pengguna Internet yang berpotensi menjadi pemilih muda atau pemiluh pemula pada Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) bulan April 2019.

    Sebelum lanjut membahas tentang generasi milenial dan perannya dalam pemilu, mari kita urai terlebih dahulu tentang konten sampah berjejuluk hoaks ini. UNESCO dalam publikasinya berjudul “Journalism, Fake News and Disinformation” yang dirilis tahun 2018 telah membagi hoaks alias kabar bohong ini menjadi 3 (tiga) kategori: misinformasi, disinformasi dan malinformasi.

    Penjabarannya adalah sebagai berikut:

    1. Misinformasi adalah informasi yang memang tidak benar atau tidak akurat, namun orang yang menyebarkannya berkeyakinan bahwa informasi tersebut sahih dan dapat dipercaya. Sejatinya tidak ada tujuan buruk bagi mereka yang menyebarkan konten misinformasi, selain sekedar untuk “mengingatkan” atau “berjaga-jaga”.

    2. Disinformasi adalah informasi yang juga tidak benar namun memang direkayasa (fabricated) sedemikian rupa oleh pihak-pihak yang berniat membohongi masyarakat, sengaja ingin mempengaruhi opini publik dan lantas mendapatkan keuntungan tertentu darinya.

    3. Malinformasi adalah informasi yang memang memiliki cukup unsur kebenaran, baik berdasarkan penggalan atau keseluruhan fakta obyektif. Namun penyajiannya dikemas sedemikian rupa untuk melakukan tindakan yang merugikan bagi pihak lain atau kondisi tertentu, ketimbang berorientasi pada kepentingan publik. Beberapa bentuk pelecehan (verbal), ujaran kebencian dan diskriminasi, serta penyebaran informasi hasil pelanggaran privasi dan data pribadi adalah ragam bentuk malinformasi.

    Dengan memahami konsep kategorisasi yang ditawarkan UNESCO di atas, kita bisa memahami bahwa isu hoaks tak bisa dipandang sebagai suatu yang sederhana, apalagi sekedar ditangani dengan solusi yang disimplifikasi. Ada aktor dengan motif dan metodenya, ada medium dengan karakteristik pesannya, dan ada khalayak sebagai penerima pesan dengan kematangan checking behaviour-nya secara individual. Karakter dan keunikan inilah yang kemudian mesti disikapi dengan hati-hati, karena tidak bisa satu metode penanganan bias bekerja mengatasi ragam jenis hoaks yang beredar di ranah maya.

    Sumber berita: Kumparan.com

    Berita Terkait

    Migrasi ke TV Digital Akan Buka 232.000 Lapangan Kerja Baru

    Migrasi tv analog ke digital atau yang disebut Analog Switch-Off (ASO) diperkirakan menumbuhkan 232.000 lapangan pekerjaan baru. Selengkapnya

    Pemerintah Lakukan Transformasi Digital Melalui Empat Pilar

    Untuk memaksimalkan potensi bangsa dalam ekonomi digital, Kementerian Komunikasi dan Informatika tengah membangun infrastruktur digital yang Selengkapnya

    Pemerintah Lakukan Transformasi Digital Melalui Empat Pilar

    Untuk memaksimalkan potensi bangsa dalam ekonomi digital, Kementerian Komunikasi dan Informatika tengah membangun infrastruktur digital yang Selengkapnya

    UMKM Didorong Berbasis Digital di Era Pandemi

    Di masa pandemi, pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah perlu berpindah ke ruang digital agar bisa menjangkau pasar yang lebih luas, ba Selengkapnya

    SOROTAN MEDIA